Surat dari Sahabat
Oleh: Dina Tuasuun
Pesan Baru _ < > X
M | Untuk : Mayang |
Dari : Rania |
Kepada Mayang
di Negeri Seberang
Sahabat, aku senang saat tahu kamu mendapat beasiswa ke luar negeri. Bakat dan kemampuanmu sebagai seorang atlet pasti akan terasah di sana. Kamu bukan saja kuat, tetapi baik hati. Kalau bukan karena kamu, sampai hari ini aku tak akan bisa menginjakkan kaki di puncak Borobudur. Pagi itu pertama kalinya aku melihat fajar merekah dari ketinggian. Mentari menyapa seperti bola merah yang menyembul dari tengah lautan kelabu.
Mayang, sahabatku. Aku percaya kamu akan baik-baik saja di sana. Teruslah latihan. Gapailah impian. Tak ada yang mustahil kalau kita terus berusaha, seperti pesanmu kepadaku pagi itu. Saat itu aku tak banyak berharap. Sejak kecil, aku terbiasa tidak dapat berlari, melompat, memanjat, apalagi mendaki. Kamu mungkin tahu aku mengidap distrofi otot, penyakit yang membuat ototku melemah dan menyusut. Naik tangga adalah hal yang hampir tidak pernah aku lakukan. Apalagi sejak aku memakai kursi roda. Maka pertemuanku denganmu hari itu, membuatku makin yakin tidak ada yang yang tidak mungkin. Aku yang tadinya pasrah jika tak pernah bisa sampai ke puncak, akhirnya percaya pada keajaiban.
Mayang, jangan lupa berdoa juga ya. Aku di sini pun mendoakanmu. Salam untuk teman-teman satu timmu. Negara kita pasti bangga mempunyai atlet seperti kalian. Tiga bulan di negeri orang pasti tidak akan lama. Semoga kita bisa bertemu lagi.
Salam,
Rania

Pesan Baru _ < > X
R | Untuk : Rania |
Dari : Mayang |
Kepada Rania
teman terbaikku
Rania, aku senang sekali mendapat kabar darimu. Di antara latihan, kompetisi, latihan lagi, kompetisi lagi, suratmu sangat membuatku bersemangat. Selain keluargaku, hanya kamu yang mau berkirim pesan. Terima kasih kamu sudah menganggap aku sebagai sahabat. Aku juga belajar banyak darimu.
Aku baru sadar bahwa Tuhan menganugerahkan tubuh yang kuat dan sehat, bukan hanya untuk diriku. Bukan juga untuk memenangkan kejuaraan, melainkan supaya aku bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain.
Saat melihatmu di Borobudur pagi itu, aku merasa menjadi orang yang beruntung. Selama ini aku sering mengeluh tentang kondisi tubuhku. Kakiku pendek dan bahuku lebar. Walaupun kata pelatihku, itu adalah tubuh ideal untuk seorang lifter sepertiku. Ya, seperti aku pernah katakan, sejak berusia kelas 3 SD, aku masuk dalam klub angkat besi.
Sejak kita berkenalan, aku kagum padamu. Kamu justru bangga akan tubuhmu. Kamu tidak mengeluh. Katamu, “Aku mungkin kehilangan bentuk kakiku yang dulu, tetapi aku tidak pernah kehilangan semangat.” Kamu bahkan dengan fasih menjelaskan kepadaku mengenai sejarah, asal kata, bahkan cerita di balik ribuan relief Candi Borobudur.
Mungkin kamu tidak sadar, kata-katamulah yang juga membakar semangatku. Aku datang ke Borobudur pagi itu dengan hati yang sedikit kesal karena liburanku akan berakhir. Aku harus segera meninggalkan Indonesia dan belajar jauh dari orang tua. Terima kasih untuk motivasi yang sudah kamu berikan, ya.
Salam sayang,
Mayang


Sudah ribuan tahun aku berdiri. Di antara pepohonan, diapit pegunungan. Aku menjulang tinggi, tetapi pernah tersembunyi. Dahulu orang datang ke tempatku untuk beribadah dan berziarah, tetapi sekarang lebih banyak yang berkunjung untuk berwisata. Dulu orang-orang menapaki jalur relief yang ada dan mengelilingiku searah jarum jam sambil terus naik ke undakan. Mulai dari sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan. Hal tersebut dikarenakan relief di sepanjang jalan menuju puncak memuat beragam kisah sesuai tingkatannya. Dengan begitu, mereka dapat memahami cerita yang terpahat di dindingku. Namun, kini tidak banyak orang yang paham akan hal itu.
Telah banyak aku melihat orang-orang yang datang dan pergi ke sini. Banyak anak atau orang dewasa yang iseng merusakku. Mereka seenaknya menginjak relief dan stupa hanya untuk mendapatkan foto yang menarik. Bahkan ada juga yang mencorat-coret dan menempelkan permen karet. Namun, pemandangan berbeda kudapati pagi itu. Kulihat dua orang anak perempuan berjalan bersama. Tubuh mereka sangat berbeda. Yang seorang bertubuh kurus dan lemah, ia tak bisa naik tangga. Namun, senyum selalu merekah di bibirnya dan dengan lancar ia menceritakan tentang diriku. Yang seorang lagi terlihat sangat kuat, tubuhnya atletis. Meskipun di awal kulihat wajahnya sedikit ditekuk, tetapi ia kembali ceria setelah bersama anak perempuan yang menjelaskan kepadanya tentang diriku.
""Lihatlah, Mayang! Candi ini dikelilingi gunung-gunung dan bukit-bukit. Gunung Sindoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut. Lalu ada Bukit Tidar di utara dan Perbukitan Menoreh di selatan,"" kata anak yang bernama Rania.
“Jalur kursi roda hanya sampai di sini. Meski ada kruk, untuk menyangga tubuhku, tapi aku tak akan bisa naik ke atas,” lanjut Rania.
Anak yang bernama Mayang tidak membiarkan temannya itu menunggu di bawah. “Aku akan menggendongmu, kalau kau mau. Yakinlah kita bisa sampai ke atas! Aku cukup kuat dan biasa mengangkat beban!”
Rania awalnya menggeleng pelan sembari berkata, “Jangan sampai aku jadi beban.” Namun, Mayang bersikeras, “Maaf Rania, kamu sama sekali bukan beban. Kita berteman!”
Orang tua Rania awalnya saling bertatapan, tetapi akhirnya mereka mengizinkan. Ayah Rania tidak bisa mengantarkan ke puncak Borobudur karena kakinya terkilir, sedangkan Ibunya tidak cukup kuat untuk memapah Rania seorang diri. Sementara itu, orang tua Mayang ternyata tidak keberatan jika Mayang yang memapah Rania.
Maka kedua keluarga itu menjadi akrab. Mayang memapah Rania sepanjang perjalanan, bahkan sesekali juga menggendongnya saat harus naik tangga. Orang tua mereka menjaga dan memperhatikan, kecuali Ayah Rania yang terpaksa harus menunggu di bawah. Ibu Mayang dan Ibu Rania ada di samping, sementara Ayah Mayang ada di belakang. Sampai akhirnya mereka semua tiba di puncak dan menyaksikan semburat merah merekah di ufuk timur. Fajar menyingsing. Pagi itu aku melihat keajaiban persahabatan: Rania yang berkaki kecil dengan semangat besar dan Mayang yang bertubuh kekar dengan hati lembut.