Memulai Kembali

Oleh: Dewi Cholida

Matahari sudah di penghujung petang saat Rinjani melepaskan earphone di telinganya. Kelopak matanya menyipit, sementara pupilnya menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Punggung tangannya menutupi mulut yang mengeluarkan uap. Kabut tipis mengecup pucuk-pucuk pohon teh yang tertata rapi di sisi kanan dan kiri jalan. Puncak Bogor.

“Sudah bangun, Putri Tidur?” Ayah menyapa dari belakang setir.

Senyumnya menyungging, pandangannya tak lepas dari jalan berkelok di depannya. Leher Rinjani menengok ke kanan. Bibirnya mengembangkan tawa, membalas sapaan Ayah.

“Kalau perhitungan Ayah tak meleset, kita akan sampai di Terminal Ciboleger hampir tengah malam. Yakin mau tidur di mobil saja sambil menunggu pagi?” kata Ayah.

“Nggak pa-pa, Yah. Dulu waktu sama Ibu kan juga begitu. Biar hemat,” kata Rinjani sambil mengangguk mantap.

Tawa lebar yang disiapkan Rinjani perlahan-lahan menyusut. Tangan kanan Ayah menepuk lengan puteri kesayangannya. Rinjani berusaha mempertahankan senyumnya, meski matanya berubah sendu.

Ini adalah perjalanan pertama Rinjani dan Ayah setelah kepergian Ibu. Mereka akan mengunjungi kampung adat Urang Kanekes. Di luar sana, orang-orang menyebutnya Suku Baduy. Sebuah desa adat yang berada di Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten.

Rinjani tak mengerti mengapa Ayah mengajaknya ke kampung adat ini. Rasanya, itu bukan Ayah. Itu kebiasaan Ibu. Rinjani pernah ke Kanekes bersama Ibu dan setiap perjalanan itu ia lakukan hanya dengan Ibu. Ini karena Ibu adalah seorang fotografer lepas. Kecintaannya pada gunung, hutan, alam liar, dan orang-orang biasa, disertai dengan keterampilan memotret. Hasil foto jepretan sang Ibu sering menghiasi majalah lingkungan, seperti National Geographic, dan beberapa pameran foto. Cinta itu Ibu tularkan pada Rinjani.

Sementara, Ayah adalah seorang arsitek. Ia lebih sering tenggelam di antara gambar-gambar, batu, baja, semen, dan gedung-gedung pencakar langit. Kegigihannya dalam bekerja bisa dilihat dari berbagai pujian dan penghargaan yang diterimanya, seperti Kohler Bold Design Awards, Architizer A+A Awards, dan Arcasia Awards for Architecture.

Ayah dan Ibu seperti dua kutub yang berbeda, meski saling mendukung satu sama lain. Ayah jarang hadir saat Rinjani ikut Ibu pergi memotret. Karena itu, Ia tak percaya bisa melakukan perjalanan ini bersama Ayah. Dalam ingatannya, tak sekali pun Ayah pernah naik gunung. Satu-satunya petualangan alam bebas yang pernah dilakukan Ayah adalah berjalan-jalan di Taman Hutan Raya, Dago Pakar.

“Ayah sering naik turun tangga kalau lift gedung yang Ayah buat belum berfungsi. Apa itu membantu?” tanya Ayah sambil meringis.

Rinjani tersenyum kecut. Ia memang rindu Ibu. Tapi, tidak dengan cara mengganti Ayah menjadi Ibu. Ayah seolah-olah mengganti semua peran Ibu untuk Rinjani.

Patung sekeluarga Urang Kanekes yang tersenyum ramah di tengah-tengah Terminal Ciboleger menyambut mereka. Perhitungan Ayah tepat. Mereka sampai di pintu masuk kampung adat Urang Kanekes nyaris tengah malam. Ayah memarkir kendaraan Jeep-nya persis di bawah pohon asam, tak jauh dari minimarket. Hanya ada tiga kendaraan lain yang parkir yang saling bersebelahan.

Seorang lelaki berbaju gelap dan berselimut sarung sedang duduk di bangku kayu, di depan sebuah warung yang sudah tutup. Bara api dari sebatang tembakau yang menyala saat dihisap menerangi wajahnya. Ayah mengangguk kepadanya setelah mematikan mesin.

Tangan Ayah menarik tuas di sisi kiri bangku Rinjani. Sandaran kursi itu perlahan-lahan merenggang, menjauhi dashboard. Ayah meletakkan sebuah bantal kecil di dekat pintu untuk menopang kepala Rinjani yang miring ke kiri. Rinjani seperti terdorong ke dalam déjà vu, sebuah perasaan pernah mengalami peristiwa yang sama. Tengah malam, minimarket, lelaki berbaju hitam, dan bantal kecil. Pemandangan ini pernah ia alami bersama Ibu.

“Aku kangen Ibu,” suara Rinjani mengalir seperti udara.

Matanya tetap terpejam.

“Tentu saja. Tidurlah ...” jawab Ayah dengan suara bariton yang menenangkan.


Urang Kanekes mendiami tanah vulkanik di kaki Pegunungan Kendeng. Desa yang berada pada ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu sebagian besar berupa hutan dan ladang. Catatan sejarah menyebutkan, Urang Kanekes diperkirakan telah mendiami kawasan ini sejak abad ke-5.

Rinjani dan Ayah seperti menerobos masa lalu saat berjalan di atas jembatan bambu yang melintasi sungai Kampung Cibeo. Kampung Cibeo adalah salah satu kampung adat Urang Kanekes yang masih mempertahankan adat istiadat kuno. Meski dekat dengan Jakarta, tapi di kampung ini tak ada listrik dan bangunan tembok. Suara tonggeret, gesekan rumpun bambu, dan gemericik air sungai menjadi instrumen yang terdengar di setiap sudut.

“Elang,” bisik Rinjani saat matanya menangkap seekor elang yang terbang berputar-putar nyaris di atas kepalanya.

Tangannya sigap membidik tombol pada kamera. Cekrek! Cekrek!

Rumah-rumah tradisional menjadi pemandangan berikutnya, saat Rinjani dan Ayah berada di ujung jembatan. Rumah-rumah itu dibangun saling berhadapan, di pinggir sungai.

“Rumah kami selalu menghadap utara atau selatan agar sinar matahari bisa masuk ke dalam rumah,” kata Pak Sapri.

Pak Sapri adalah salah satu sesepuh kampung adat kenalan Ibu. Rinjani dan Ayah akan menginap di rumahnya.

Ayah membungkuk memegang salah satu beuneur atau batu kali yang menjadi pondasi rumah panggung milik Pak Sapri. Batu itu menopang bambu yang menjadi salah satu tiang rumah. Ada empat bambu yang menjadi tiang rumah itu. Kening Ayah berkerut saat melihat tinggi tiang yang tak sama. Bahkan mereka tak repot-repot meratakan tanah yang menjadi dasar rumah, meskipun tanahnya miring karena kontur berbukit.

“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung. Artinya, kalau panjang tak boleh dipotong, yang pendek pun tak boleh disambung, ” kata Pak Sapri menanggapi pertanyaan Ayah mengapa mereka tak memotong bambu yang menjadi tiang rumah itu.

Pak Sapri mengatakan, Urang Kanekes percaya bahwa alam adalah salah satu titipan yang Mahakuasa untuk dilestarikan. Semua sistem kehidupan Urang Kanekes berpedoman pada filosofi tersebut.

Mereka duduk di sosoro atau sosompang untuk melepas lelah. Masyarakat umum lebih mengenalnya dengan bale-bale atau teras. Sosoro itu berlantai bambu. Ia setinggi 40 cm dari permukaan tanah. Seorang perempuan separuh baya menggeser kakinya yang sedari tadi memangku alat tenun. Istri Pak Sapri tersenyum saat menyalami Rinjani dan Ayah.

Ayah bergeser mendekati dinding rumah Pak Sapri. Dinding itu terbuat dari anyaman bambu. Kepalanya menengadah, memandang atap rumah yang terbuat dari serat ijuk dan daun pohon kelapa. Perhatiannya menjalar ke gegemi atau kusen penyangga pintu yang tampak sederhana namun kokoh. Tangan Ayah berhenti pada engsel penempel daun pintu yang terbuat dari kayu.

“Knock down. Sistem penguncian tradisional, tapi justru lebih kuat dibanding menggunakan engsel besi atau plastik yang mudah rusak,” kata Ayah berkomentar.

“Kami tidak menggunakan engsel besi. Ini cara kami menghargai apa pun yang diberikan oleh alam,” kata Pak Sapri, menanggapi komentar Ayah.

Ayah mengangguk takjub. Ia lalu meminta izin Pak Sapri untuk memeriksa bagian dalam rumah, setelah puas melihat-lihat di bagian luar. Ada tiga ruangan dalam rumah Urang Kanekes. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur. Sementara bagian belakang rumah digunakan untuk memasak. Kamera Ayah mengambil gambar setiap detail bangunan rumah.

Mereka tak mempunyai kamar mandi. Semua kebutuhan air mereka dipenuhi dari sungai, mulai dari mandi, minum, dan semuanya. Mereka hanya menggunakan daun honje sebagai pengganti sabun, odol atau sampo untuk menjaga kejernihan air sungai. Ini juga dilakukan Rinjani dan Ayah saat membersihkan diri, sore itu.


“Sepertinya Ayah akan menerima tawaran dari Om Reza,” kata Ayah ketika malam mulai menjalar.

“Rumah tahan gempa?” kata Rinjani.

Keningnya berkerut. Ingatannya mengingat wajah Om Reza dan proyek yang ditawarkan.

“Ayah terinspirasi dengan arsitektur di sini. Rumah panggung semacam ini akan sangat cocok untuk rumah para korban bencana alam. Biayanya berkali lipat lebih murah. Tentu saja dengan beberapa penyesuaian. Misalnya, setiap rumah wajib punya kamar mandi sendiri. Bagaimanapun, di lokasi bencana belum tentu memiliki sungai sejernih di sini,” kata Ayah sambil menunjukkan hasil jepretannya. Rinjani memungut buku catatannya yang tergeletak di samping Ayah.

Rinjani mengangguk-angguk. Rinjani mengenang saat ia pergi ke tempat ini bersama Ibu. Mau tak mau, ia jadi membandingkan rasanya pergi bersama Ibu dan Ayah. Dalam setiap perjalanan, Ibu membangun cerita tentang sistem ketahanan pangan, isu pendidikan, interaksi sosial dengan dunia luar, atau apa pun yang bisa ditangkap dengan kameranya.

Sementara, mata Ayah lebih jeli melihat seni arsitektur yang dilakukan di kampung ini. Ia berjam-jam mengamati orang-orang yang sedang bergotong royong membuat rumah baru, sejak kemarin. Ia juga tak bosan-bosan memeriksa sistem penyimpanan cadangan makanan atau leuit yang berjajar rapi di perbatasan antarkampung.

“Kalau Ayah mengambil tawaran Om Reza, kita bisa keliling Indonesia, sekalian napak tilas,” kata Ayah.

Ya, perjalanan ini adalah salah satu napak tilas tempat yang pernah dikunjungi oleh Ibu dan Rinjani. Tadinya, Rinjani khawatir dengan perjalanan ini. Ia pikir Ayah akan berpura-pura menjadi Ibu dengan ikut memotret dan menulis cerita. Sejak kepergian Ibu, Ayah menggantikan semua kebiasaan Ibu. Ayah yang memasak, mencuci piring dan baju, menjemputnya dari sekolah, bahkan menanyakan siapa teman laki-laki yang mendekatinya. Itu semua membuatnya jengah.

Kekhawatiran Rinjani hilang ketika merasakan pengalaman berbeda yang disuguhkan hari ini. Ia tak kehilangan ayahnya. Ayah tetap menjadi dirinya sendiri, meski berusaha mengambil peran-peran Ibu pada dirinya.

“Ayah ingin melihat apa yang dilihat Ibu. Dengan kacamata yang berbeda, tapi Ayah bisa melihat setiap keindahan yang dilihat oleh ibumu. Ayah sekaligus ingin mendekatkanmu dengan cita-citamu. Kau bilang ingin jadi fotografer seperti Ibu? Sebelum kau bisa pergi sendiri, Ayah yang akan mengantarmu,” kata Ayah sambil memeluk Rinjani.

Rinjani juga tahu rasa rindu itu bukan monopoli dirinya seorang. Dengan cara yang berbeda, Ayah berusaha bangkit dari mimpi saat Ibu mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, setahun yang lalu.

Suara penyanyi Monita Tahalea sayup-sayup terdengar dari earphone Rinjani yang terlepas dari lubang telinga.

Sebuah janji terbentang di langit biru,

Janji yang datang bersama pelangi.

Angan-angan pilu pun perlahan-lahan menghilang,

Dan kabut sendu pun berganti menjadi rindu.

Sejak saat itu langit senja tak lagi sama.


Hari ini kita akan membaca sebuah cerita berjudul "".

Bacalah cerita secara utuh dari satu halaman ke halaman lain! Kamu bisa klik tab nomor halaman pada bagian atas cerita. Kamu juga bisa klik tombol “Selanjutnya” atau “Sebelumnya” pada bagian bawah cerita untuk berpindah dari satu halaman ke halaman yang lain.

Setelah selesai membaca cerita secara utuh, kerjakan soal berikut!
1 dari

Tuliskan kalimat dalam cerita yang menunjukkan bahwa Rinjani terbangun dari tidurnya saat berada di Puncak Bogor!

2 dari

Tuliskan kalimat dalam cerita yang menunjukkan bukti bahwa Rinjani sedih saat teringat ibunya!

3 dari

Manakah dari pernyataan berikut yang menjadi alasan Rinjani ingin menjadi fotografer?
Kamu dapat memilih lebih dari satu pilihan jawaban.

4 dari

Mengapa Rinjani mengira ayahnya ingin menggantikan peran Ibu?

5 dari

Berilah nomor pada kalimat-kalimat berikut sesuai urutan peristiwa dalam cerita tersebut!

6 dari

Apa yang membuat Rinjani dan Ayah seperti menerobos masa lalu?

7 dari

Peristiwa apa saja yang menunjukkan Ayah sangat tertarik pada arsitektur Urang Kanekes?
Kamu dapat memilih lebih dari satu pilihan jawaban.

8 dari

Tuliskan salah satu sifat Rinjani berdasarkan cerita tersebut dan berikan contoh apa yang telah ia lakukan yang menunjukkan hal tersebut!

9 dari

Mengapa Urang Kanekes tidak memotong bambu yang menjadi penyangga rumah?

10 dari

Sebutkan dua alasan Ayah menerima tawaran Om Reza!

11 dari

Berdasarkan cerita tersebut, menurutmu apakah Ayah juga merindukan Ibu? Jelaskan alasanmu!

12 dari

Menurutmu, apakah Ayah akan menggunakan sistem penguncian tradisional knock down saat membangun rumah tahan gempa? Jelaskan alasanmu!

13 dari

Berdasarkan cerita tersebut, apakah kecurigaan Rinjani pada ayahnya terbukti? Jelaskan alasanmu!

14 dari

Sebutkan 2 persamaan antara perjalanan Rinjani bersama Ayah dan antara Rinjani bersama Ibu!

15 dari

Menurutmu, apakah lagu yang didengarkan Rinjani sesuai dengan isi cerita? Jelaskan alasanmu!

Sekarang kamu bisa memeriksa ulang jawaban-jawabanmu.
Kalau kamu sudah yakin dengan jawabanmu, kamu bisa klik tombol “SELESAI”!

SELESAI

Tampilkan Pertanyaan

Ada soal yang belum selesai dikerjakan.
Apakah kamu yakin ingin melanjutkan?

  Tetap Lanjutkan